Angkringan,
mungkin sudah tak asing lagi bagi telinga masyarakat khususnya masyarakat
Yogyakarta. Mengapa tidak? Coba tengok keluar rumah dan lihat lingkungan di
sekitar rumah, tidak harus malam hari bahkan siang pun ada.
Sesekali lihat sekeliling lingkungan, gang, pinggir
jalan dekat rumah ada sebuah onggokan gerobak , sehelai atap yang terbuat dari
plastik tebal berwarna oranye atau biru tua, sebuah kursi memanjang kecil dan
kuno,diterangi lampu senthir, di depannya terpampang makanan-makanan dari
makanan kecil hingga makanan berat, makanan tradisional, ‘panganan’ bungkusan, sate usus, beberapa tusuk telur
puyuh yang dibumbui dengan kecap manis kadang juga disertai dengan sambal, dan
kerupuk goreng putih yang di bungkus dalam plastik-plasrik ¼ kilonan.
Di sebelah sudut meja ada sebuah keranjang berukuran
sedang berbentuk kotak-kotak berlubang yang di dalamnya memuat
tumpukan-tumpukan sesuatu berbentuk kotak meski tidak persegi di bagian tengah
sedikit menjulang , terlihat daun hijau ranum sedikit disela-selanya karena
dilapisi penuh kertas minyak. Itulah
yang dikenal masyarakat dengan “sego
kucing” atau nasi kucing. Mengapa disebut demikian? Karena nasinya sedikit,
dengan lauk sambal tempe kering dn sedikit ikan teri. Mungkin porsi makanan itu
hanya seperti porsi makanan kucing, minumannya ‘wedang’ jahe , unik juga.
Di gerobak itu ada beberapa orang yang sedang asyik
, si penjual sedang sibuk melayani pembeli. Para pembeli sangat menikmati menu
yang disantapnya. Itulah yang disebut gerobak angkring atau lebih dikenal
dengan angkringan. Lalu apa yang sedang
mereka lakukan? Makan tanpa etika asal
‘comot’ saja?
Pandangan-pandangan seperti itu sepertinya tidak
asing di mata tidak hanya di sekitar kita bahkan di desa sampai kota pasti ada
yang namanya angkringan. Angkringan,
baik di pinngir jalan raya , gang-gang
sempit bahkan di bukit desa pun sudah merajalela. Memasuki abad ke-21 ini
warung yang bernama angkringan sudah bertambah pesat, konsumennya tak hanya
warga desa, orang tua, maupun masyarakat umum bahkan sampai pelajar pun menjadi
langganan setia angkringan yang mereka member nama tersendiri yaitu ‘angset’
singkatan dari angkringan setan. Apakah penyebab dari menjamurnya angkringan
ini.Adakah yang harus segera dilakukan mengenai jumlah angkringan yang
bertambah banyak?
Angkringan bisa menjadi kuliner favorit bagi yang
berdompet tipis. Dengan uang ‘cepek’ pun bias membeli berbagai macam makanan. Warung dengan ‘sego kucing’ sebagai menu
andalan ini sangat popular di kalangan
pelajar Yogyakarta. Mereka yang sekolahnya dekat warung angkring tak jarang
yang menyempatkan menikmati keramaian warung angkring.
Berikut ini
hal-hal yang bisa dilakukan di angkringan:
- Bisa ngobrol bahkan ngobrol dengan orang yang belum dikenal
- Tak perlu table manner nyomot panganan pakai tangan pun bukan melanggar etika
- Pergaulan yang alami, sembali melihat ’potret sosial’ bertemu dengan berbagai macam golongan masyarakat
- Menikmati makanan rakyat, murah meriah. Seperti nasi, lauk, sambal teri, bandeng goreng, dan kering tempe pedes.
- Sekat-sekat sosial seperti pendidikan, kekayaan, jabatan, suku, agama,dll hilang
- Bisa mendiskusikan isu hangat, mendengar aspirasi suara rakyat
- Harga ekonomis, terjangkau, murah meriah.
Menjamurnya usaha angkringan di Yogyakarta berkaitan dengan keadaan
perekonimian saat ini. Bermula dari ledakan penduduk yang tidak teratasi
menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan. Masyarakat yang rendah pendidikannya
akan mendapat pekerjaan yang rendah pula, bahkan yang tidak sempat menganyam
pendidikan pun sulit mendapatkan pekerjaan.
Meningkatnya jumlah kelulusan
SMA/SMK setiap tahunnya menjadikan
bertambahnya angkatan kerja. Sedangkan kesempatan kerja tidak menampung
mereka semua. Sehingga terjadi pengangguran. Persoalan seperti ini yang
menjadikan mereka yang tidak memiliki pekerjaan untuk memiliki usaha
kecil-kecilan sendiri seperti angkringan. Lain lagi, dulunya seorang pegawai
pabrik milik pemerintah, karena krisis ekonomi mengalami Pemutusan Hubungan
Kerja atau disingkat PHK. Kemudian memutuskan untuk mendirikan angkringan untuk menyambung hidup demi sesuap nasi.
Di angkringan tidak ada aturan
tertentu dalam tata cata makan, bebas mengambil makanan, makanan yang
diingkinkan langsung dapat diambil dihadapannya ,melayani sendiri, makan
seenaknya tanpa menunggu lama seperti di Pizza Hut, bahkan antrian di KFC
sendiri. Makanannya pun sangat beragam
dari makanan tradisional. Identik dengan tahu bacem, tempe bacem, berbagai
macam-macam gorengan, dll. Juga makanan tersebut tidak tahan lama alias tanpa
bahan pengawet. Tapi, belum tentu sehat terkait dengan tingkat kehigenisannya.
Melihat maraknya fenomena angkringan di setiap pojok kota Yogyakarta ini
tampaknya tida berlebihan jika dikatakan angkringan sebagai roda penggerak
perekonomian. Hal ini dikarenakan ia bergerak disektor riil. Hasil dari
keberadaan angkringan bisa langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Baik dalam
hal perputaran uang maupun tenaga kerja masyarakat turut terlibat didalamnya.
Angkringan juga mendorong perekonomian dengan mengurangi angka
pengangguran. Untuk menjadi penjual angkringan tidak diperlukan persyaratan
tertentu. Angkringan menjadi wadah yang fleksibel untuk menampung pengangguran
yang ingin bekerja.
Menanggapi bertambahnya jumlah warung-warung angkringan seperti masa kini,
hendaknya diperlukan sikap selektif untuk menentukan mana yang dibutuhkan. Juga
harus senantiasa menjaga kebersihan lingkungan dan memilih angkringan yang
benar-benar terjamin kebersihan makanan, tempat, dan keamanan dan
kenyamanannya.
0 komentar:
Posting Komentar