Resensi Novel

|

Jangan Panggil Eliana Kalau Aku Penakut
A.    Identitas Buku
Judul Buku                  : Eliana
Penulis                         :Tere Liye
Negara                         : Indonesia
Bahasa                         : Indonesia
Jenis                            : Sastra dan fiksi
Penerbit                       : Jakarta, Republika Penerbit
Tahun Terbit                : 2011
Tebal Buku                  : 579 halaman
           
B.      Sinopsis
Eliana, anak Mamak yang pemberani. Eliana si anak tangguh yang paling berani menentang ketika pertemuan di provinsi. Eliana tak pernah tau apa yang akan terjadi akibatnya bila ia memasuki gedung pertemuan itu. Gadis kelas VI SD ini terlalu berani untuk unjuk campur dalam masalah besar itu. “Eli, kau ini anak sulung Bapak dan Mamak, kami menaruh harapan besar padamu”. Semula berawal dari konflik pertikaian tambang pasir yang makin runyam di kampung tepi hutan. Kampung tepi hutan, jauh dari pusat kota menyimpan harta berharga di dalamnya, seharusnya itulah yang patut dibanggakan. Tidak bisa membanggakan karena belum mengetahui sempurna sebenarnya kekayaan yang dimiliki.
Truk-truk pengangkut pasir makin meraung. Di Lembah Bukit Barisan ini, Eliana  dilengkapi keberaniannya membentuk  Empat Buntal  bersama Hima, Damdas, dan Marhotap.  Empat Buntal melakukan aksi yang diluar kecerdasan anak lainnya. Pada suatu malam, Empat Buntal mengindap-indap pos penjagaan tambang truk. Pada awalnya mereka ingin membocorkan ban truk yang ada. Marhotap terlalu berani. Naas, detak kelakuan mereka diketahui penjaga tambang. Empat Buntal beruntung bisa menyelamatkan diri. Tak sampai di sini, meski awalnya Empat Buntal ditentang oleh Bapak, Mang Dullah, Pak Bin dan Wak Yati, kendati tak menyurutkan semangat mereka untuk melawan tambang pasir itu.
“Eliana kali ini kita akan berhasil”, kata Marhotap pada suatu malam. Ini lebih ekstrem dari apapun. Marhotap mulai melancarkan perlawanannya. Sejak itu Marhotap hilang.  Geng Buntal kehilangan anggotanya. Mereka hibernasi sementara sembari menunggu kabar keputusan dari Kota Provinsi. Memang pembahasan tentang perizinan tambang pasir di Lembah Bukit Barisan Sumatera semakin alot. Johan, pria pendek yang otaknya luar biasa cerdik pandai memutar balikkan fakta bertatapan dengan penduduk kampung tepi hutan. Merendahkan sekali. Alam yang dimiliki ini seharusnya dibanggakan, konservasi dan dipelihara bukannya malah dieksploitasi habis-habisan.
Eliana, anak sulung Mamak dan Bapak. Eliana benci dilahirkan sebagai anak pertama, hanya disuruh-suruh Mamak mengawasi Pukat, Burlian, dan Amelia. Kenapa harus Eliana yang jadi anak sulung. Eliana mulai memberontak tegas, sampai suatu hari ada kejadian yang meluluhkan Eliana. Malam itu, Bapak tidak bisa menemani Burlian menonton pasar malam di lapangan kemudian Mamak menyuruh  Eliana untuk menemani Burlian. Keasyikkan mengobrol dengan Hima, Burlian pun hilang. Eliana khawatir dicarinya kemana kemari. Nalurinya sebagai kakak muncul. Ada rasa dimana dia kurang bertanggung jawab. Yah, tak becus menjadi kakak. Sesampainnya di rumah, ada Bapak dan Mang Dullah beserta kaki Burlian yang diperban. Kaki Burlian terkena pecahan beling . Mamak hanya menatap Eliana tanpa memarahinya sedikitpun. Eliana semakin bersalah, ia benci Mamak. Ia kabur ke rumah Wak Yati.
Tidur alias kabur di rumah Wak Yati bukan sesuatu yang mudah. Makan pagi tanpa masakan yang sudah di meja seperti di rumah. Eliana semakin terpikir akan Mamak. Tapi, ia benci Mamak. Benci.  “ Nak, jika kau tahu sedikit saja apa yang telah seorang Ibu lakukan untukmu, maka yang kau tahu itu sejatinya bahkan belum sepersepuluh dari pengorbanan, rasa cinta, serta rasa sayangnya kepada kalian“. “Eliana, jangan sekali-kali membenci Mamakmu”.  Eliana menangis dipelukan Mamak pada suatu malam dimana setiap malam ternyata Mamak mengunjungi Eliana dirumah Wak Yati.  Mamak memang tak ada duanya.
Anton. Bisa dilukiskan itu musuh semusuh musuhnya. Sejak kehilangan Marhotap, kini tinggal Tiga Buntal yang tersisa. Perlawanan terhadap tambang pasir tidak hanya main fisik saja ternyata strategi dan kecerdasan juga diperlukan. Pembelaan Bapak menguap begitu saja. Eliana tak akan menyerah. Penakut, itu bukan Eliana sama sekali.  Anton itu seperti Marhotap dulu yang suka mencela Eliana. Hadirnya  tambang pasir yang membuat hasil pencarian batu-batu kali Marhotap berkurang. Mereka bersatu menyerang tambang pasir.  Sekarang, di sekolah Eliana  berani “berduel” dengan Anton. Berduel dalam artian Eliana berani bersaing dengan Anton secara jujur, diantaranya bermain bola voli, gobak sodor, lomba lari 10 putaran mengelilingi lapangan, sampai ia mengumandangkan adzan di mushola yang berujung pada pertemuan seluruh warga kampung di mushola.
Penambang pasir makin menjadi. Kekayaan alam Sumatera bagai dipangkas habis, penduduk memberontak. Secerdik-cerdiknya manusia, biarlah alam yang mengadilinya.  Empat Buntal kini hadir kembali dengan anggota barunya, Anton. Anton juga merasa tidak sependapat dengan adanya penambang pasir itu. Malam itu mereka meyusup kantor penjagaan tambang pasir dan tertangkap basah oleh Johan. Pemilik tambang itu sendiri. Eliana, Damdas, Hima, dan Anton terkurung dalam container . Hujan sangat lebat, lebih dari biasanya. Alam membahana, berteriak, dan membela penduduk. Banjir besar-besaran dan longsor menghancurkan truk-truk pengangkut pasir itu. Mayat Marhotap terangkat ke permukaan. Kejadian itu meluluhlantahkan tambang pasir Johan. Alam ini lebih adil dari hakimpun.
Dua puluh tahun kemudian, Eliana menjadi pengacara terhebat dan terkaya. Damdas menjadi pemilik pabrik karet yang sukses. Anton menjadi wiraswasta sukses. Hima pun tak kalah. Empat  Buntal menjadi orang yang penting- penting dalam membela yang benar. Sedangkan Burlian dan Pukat kuliah di Amsterdam. Anak-anak Mamak dan Bapak menjadi orang hebat.  Suatu hari, Johan datang dengan truk-truk tambangnya lagi. Kali ini mereka akan menambang emas di kampung ini. Empat Buntal datang sebagai pagar paling utama.





0 komentar:

Posting Komentar