Resensi
Novel
A. Identitas Buku
Judul Buku :
Menatap Punggung Muhammad
Penulis :
Fahd Djibran
Negara :
Indonesia
Bahasa :
Indonesia
Jenis :
Sastra dan non-fiksi
ISBN :
978-602-97528-3-6
Penerbit :
Jakarta, Litera Pustaka
Tahun Terbit :
2010
Tebal Buku :
181 halaman
Ukuran Buku :
20 x 13,5 cm
B. Tentang Penulis
Fahd Djibran bernama asli Fahd Pahdepie, lahir di
Cianjur, 22 Agustus 26 tahun silam adalah penulis dari novel Menatap Punggung Muhammad. Sebelumnya,
dia telah menulis beberapa buku diantaranya adalah buku pertamanya A Cat In My Eyes (2008), Curhat Setan (2009), Yang Galau Meracau : Curhat (Tuan) Setan
(2011), dua buah novel Rahim : Sebuah
Dongeng Kehidupan, kemudian pada tahun 2010 membagikan Menatap Punggung Muhammad kepada para pembaca. Setelah itu berkolaborasi dengan Bondan Prakoso dan
Fade2Black menginspirasi pembaca dengan fiksi-musikalnya berjudul Hidup Berawal Dari Mimpi (2011). Ada
yang unik secara kasat mata bila dilihat dari dua dari beberapa novelnya, A Cat In My Eyes : Dengan Bertanya Tak
Membuatmu Berdosa diikuti novel berikutnya Curhat
Setan: Dengan Berdosa Membuatmu Selalu Bertanya. Kedua judul ini sekilas
ironi satu sama lain. Rata-rata novel buah
pena Fahd Djibran beroleskan filsuf-filsuf dunia, seperti Menatap Punggung Muhammad yang menyibak noktah pada titik tertentu.
C.
Isi
Buku
Menatap
Punggung Muhammad sebuah judul novel yang konspirasi,
siapa yang benar-benar jelas melakukannya. Menatap
Punggung Muhammad bukanlah novel non-fiksi seperti kebanyakan, bukan juga
menorehkan jalan cerita yang monoton dari titik pandang subyektif melainkan
tatapan yang luas melebarkan mata, dan menyinergikan otak untuk berobjektif.
Membentangkan wawasan dan menyerap derasnya pandangan-pandangan para filsuf dibarengi dengan filtrasi yang
sarat serta melalui proses sedimentasi
yang sistematis sehingga butir-butir ilmu terkoordinir membentuk keselarasan
pandangan. Novel Menatap Punggung
Muhammad tidak hanya menggali kisah dari pelupuk religius saja, tetapi
matriksnya bemuatan pemikiran-pemikiran
rasional dan empiris .
Derai Gelisah Dalam Rimbunan Jalan
Bila
Rasulullah datang kerumahmu, megetuk pintumu, bagaimana? Dan bila kalian sedang
mendengarkan radio dengan musik-musiknya begitu indah dan kau dengar musiknya mengalir
apakah kau akan bertanya padanya, “Musik, ya rasul! Rasul mau ikut berjoget?
Enak bukan ya Rasul?” Atau bagaimana? Rumit. Kalau kau berpikir suatu saat
Rasulullah datang mengunjungimu. Lalu bagaimana bila dua hari itu selesai dan
Rasulullah harus pulang? Apakah kau akan berkata, “Huh bebas! Merdeka!” ? Atau
bagaimana?
Begulat dengan si Aku yang mengirimkan 100 halaman
surat untuk sang kekasih yang telah berpisah selama dua tahun. Pada halaman pertama tertulis kepergian, lambaikan tangan atau salam
perpisahan selalu seperti tak punya perasaan ––apalagi jika kau melakukannya
tanpa pesan. Tapi waktu, semua akan berlalu––yang tersisa tinggal kenangan. Aku dan Azalea sepasang kekasih dengan latar
belakang non-muslim. Aku meninggalkan kekasihnya tanpa angin perpisahan. Aku dihadapkan
pada suatu kegelisahan. Sekokoh itu Aku mencari kegelisahan nya hingga ia
menuliskan surat kepada Azalea.
“Apakah yang lebih besar daripada iman?” “Aku
tak tahu,” jawabku menatap wajah bercahaya itu. Sosok laki-laki agung,
Muhammad menjawab, “Kebaikan,” katanya
tiba-tiba, “Melebihi apapun, adalah yang
utama dari semuanya. Aku menyebutnya ihsan.” Kemudian ia pergi. Aku
menatapnya dari belakang, menatap
punggungnya. Mimpi itu
benar-benar membuat gelisah hati tak bertepi. Aku mulai berkutat dengan
buku-buku tentang Muhammad. Meresapi hubungan tidur dan mimpi berdasarkan
penelitian psikoanalisis Carl Gustav Jung
(1875-1961) yang menyatakan bahwa mimpi dipandang sebagai wahyu yang
menyampaikan kebenaran. Selain itu Sigmund Freud (1856-1939), mimpi berkaitan
dengan hal yang dipikirkan sebelumnya.Tak hanya itu, si Aku membaca puluhan
hasil penelitian para filsuf dunia tentang mimpi, tetapi belum juga
terjawab. Mengejutkannya, sebuah
pernyataan Muhammad “He who saw me in a dream has certainly seen
me for Shaytan can not take my form,” setan tak mungkin menyerupai
Muhammad.
Aku mulai berkesimpuh mengenai
Muhammad pada masanya. Meneguk aliran
pengetahuan dari lembar demi lembar
sejarah Muhammad, kegelisahan ini semakin menyekap. Lembabnya hati Aku, hausnya
jiwa akan merindukan sosok Muhammad. Kemudian Aku kembali memutar balik
pendiriannya seorang non-muslim yang memimpikan nabi agama lain. Derai tanda
tanya semakin menghantam jiwa. Seusai In the Footstep of the Prophet : Lesson from
the life of Muhammad selesai dibaca,
Aku merasakan rasa yang menjalar merambat di seluruh kapiler darah––rindu
akan Muhammad.
Mahamanusia,
kata Goethe, dialah Muhammad. Aku semakin bertanya-tanya, Azalea, siapakah
Muhammad itu sebenarnya?. Ditengah “pencarianya” Aku
bertemu dengan seorang yang mengalami hal sama dengannya, membuka mata hati Aku
tentang apa yang terjadi sebenarnya. Sama, Aku menanyakan mengapa Muhammad berkata
bahwa kebaikan lebih utama daripada iman. Aku belum mendapatkan
jawabannya. Aku merentangkan perahu
melayari lautan pertanyaan untuk menemukan siapa Muhammad itu sebenarnya.
Empirisnya, Aku menemukan kutipan tentang Muhammad, “Muhammad satu-satunya
manusia dalam sejarah yang sangat berhasil dalam dua tataran sekaligus, agama
dan sekular.” [Michael H. Hart, The 100 :
A Ranking Of The Most Influential Persons In History,New York, 1978,
h.33], Hal serupa diutarakan juga oleh
William Montgomery Watt melalui Mohammad
At Mecca dan Alphonse de Lamartine pada Histoire
De La Turquie. Literatur lain yang didapatkan, “... karena dia memiliki
semua kekuasaan tanpa peralatan dan pendukung untuk itu.” [Reverend Bosworth
Smith (1794-1884), Mohammed and
Mohammedanism,London, 1874, p.235] serta majalah-majalah ilmiah di dunia. Muhammad––sosok yang ‘dicari’ pun tak cukup
sampai ini. “Pencarian” yang sebenarnya adalah terus menerus. Apapun
agamamu, kebaikan tak mungkin kau tolak. Kebaikan lebih utama daripada
keimanan.
D.
Kekurangan
dan kelebihan
Fahd Djibran menyajikan cerita yang lugas, laki-laki
yang lihai menenun kata membuahkan 100 lembar surat untuk Azalea. Gaya bahasa yang
ditangkap diantaranya ketika Aku merenungkan tentang rasulullah ... Musik, ya rasul! Rasul mau ikut berjoget?
Enak bukan ya Rasul? Kemudian dari awal hingga akhir Aku menyebut Azalea
dalam setiap paragraf cerita dengan repetisi. Secara keseluruhan gaya penulisan
benar-benar modern bukan kontemplatif.
Pada bagian kisah Muhammad, cerita yang dijunjung hanya kulitnya saja sehingga benar-benar menunjukkan bahwa Aku memang
terlalu awal untuk mengenal Muhammad. Konsep cerita dilekatkan dengan konstan
yaitu membaca sebuah surat sehingga ringan dalam mengilhami intisari. Pembaca
seolah menjadi Azalea, seperti membaca
surat dari kekasihnya, sasarannya
benar-benar “kena”. Pada akhir bab juga dikejutkan
darimana asal surat itu. Fahd Djibran dengan pekat menjaga “kelestarian” isi
sehingga pembaca tidak merasa bosan. Uniknya, Fahd Djibran membumbui setiap
masalah dengan kekuatan empiris sehingga bisa diakui oleh ilmu pengetahuan
seperti yang diungkapkan oleh Michael H. Hart. Hal ini menambah semarak pembaca
untuk mengais lebih dalam dan menemukan titik akhir dari cerita.
Meskipun judulnya mengandung unsur agama, Fahd
Djibran bisa dibilang blak-blakan
dalam menulis. Bahasa, diksi, dan sudut pandangnya berkiblatkan kalangan umum, bukan
terpatok kepada agama. Penikmat buku menyelam sebagai seorang netralis yang menyantap
cerita dengan sikap ilmiah, mengedepankan logika, dan berpikir rasional. Pesan yang dibagikan
implisit, perlunya perenungan bahwa seorang non-muslim saja bisa merindukan
sosok Muhammad apalagi orang-orang yang muslim dari keturunan sebelumnya. Filsuf
yang berlatar belakang non-muslim saja bisa membanggakan Muhammad. Secara
fisik, cover novel sinkron dengan isinya yaitu menggambarkan sebuah kegelisahan juga
kemungkinan memperlihatkan latar di mana Aku bertemu Muhammad.
Fahd Djibran membawa pembaca menapaki pengalaman Aku
melalui lembar demi lembar kertas torehan tinta tentang Aku dan “pencariannya”
, tetapi sebagian besar dari cerita
tidak terdeskripsikan latar tempat
secara jelas, kadangkala latar tempat beralih dengan kasar seperti Aku sedang ada
di UNY kemudian di Jawa Barat, tidak dijelaskan kaitan kedua tempat itu. Selain itu, latar di mana Aku dulu bersama
Azalea dan di mana Aku sekarang tidak tertera dengan jelas. Nama asli Aku pun
secara rahasia tidak disebutkan. Dalam alurnya, Azalea memutuskan menjadi mualaf dengan alasan yang tidak jelas.
Kemudian tidak ada kepastian apakah Aku benar-benar puas terhadap “pencariannya”
selama ini dan apakah Aku masih menjadi non-muslim atau sudah masuk islam. Jalan cinta antara Azalea dan Aku menggantung
begitu saja. Fahd Djibran seharusnya mencantumkan balasan surat Azalea kepada
Aku agar Azalea tidak seperti tokoh pasif. Secara logis, novel ini juga tidak
akan bisa diangkat menjadi sebuah film karena akan sulit dalam memutuskan
tokoh-tokoh yang terlibat (Muhammad).
E.
Kesimpulan
Derai arus pemikiran filsuf-filsuf
dunia membuat Muhammad semakin diakui bahwa beliau adalah rasul yang
dibanggakan. Kaum non-muslim saja membanggakan Muhammad, oleh karena itu
hendaknya kaum muslim juga semakin mencinta rasulnya. Dari cerita tersebut,
menjelaskan Muhammad sebagai manusia dengan berbuat kebaikan tanpa membedakan
agama. Apapun agamamu, kebaikan tak mungkin kau tolak. Kebaikan lebih utama
daripada keimanan. Makna yang ingin disampaikan bahwa dalam melakukan kebaikan
hendaknya tidak memandang latar belakang seseorang, karena kebaikan itu untuk seluruh
manusia. Kebaikan lebih utama dari iman sebab kebaikan adalah pembuktian dari
iman dan melampaui batas-batas agama. Iman hanya berdampak pada diri sendiri sedangkan
kebaikan berdampak bagi seluruh semesta alam. Dalam rinai kehidupan, berbuat
baik adalah perbuatan tanpa memandang perbedaan.
Dengan membaca Menatap
Punggung Muhammad, Fahd Djibran membagikan manfaatnya antara lain mengetahui
kiprah nabi dalam perannya sebagai manusia dengan tanpa membedakan agama dalam
berbuat kebaikan, mengambil hikmah pengalaman seorang non-muslim dalam pembuktiannya
tentang Muhammad, dan tertera jelas bahwa Muhammad diutus sebagai nabi dan
rahmat semesta alam. Literatur yang mendukung membuat pembaca mendapatkan bukti
secara empiris tentang Muhammad sehingga dapat disinkronkan antara kitab (Al
Quran) dan penelitian para filsuf. Diharapkan semua manusia dapat melakukan
kebaikan tanpa memandang latar belakangnya.
0 komentar:
Posting Komentar