Boomingnya Angkringan Esai GVT 2011

|


Angkringan, mungkin sudah tak asing lagi bagi telinga masyarakat khususnya masyarakat Yogyakarta. Mengapa tidak? Coba tengok keluar rumah dan lihat lingkungan di sekitar rumah, tidak harus malam hari bahkan siang pun ada.  
Sesekali lihat sekeliling lingkungan, gang, pinggir jalan dekat rumah ada sebuah onggokan gerobak , sehelai atap yang terbuat dari plastik tebal berwarna oranye atau biru tua, sebuah kursi memanjang kecil dan kuno,diterangi lampu senthir, di depannya terpampang makanan-makanan dari makanan kecil hingga makanan berat, makanan tradisional, ‘panganan’  bungkusan, sate usus, beberapa tusuk telur puyuh yang dibumbui dengan kecap manis kadang juga disertai dengan sambal, dan kerupuk goreng putih yang di bungkus dalam plastik-plasrik ¼ kilonan.
Di sebelah sudut meja ada sebuah keranjang berukuran sedang berbentuk kotak-kotak berlubang yang di dalamnya memuat tumpukan-tumpukan sesuatu berbentuk kotak meski tidak persegi di bagian tengah sedikit menjulang , terlihat daun hijau ranum sedikit disela-selanya karena dilapisi penuh kertas minyak.  Itulah yang dikenal masyarakat dengan  “sego kucing” atau nasi kucing. Mengapa disebut demikian? Karena nasinya sedikit, dengan lauk sambal tempe kering dn sedikit ikan teri. Mungkin porsi makanan itu hanya seperti porsi makanan kucing, minumannya ‘wedang’ jahe , unik juga.
Di gerobak itu ada beberapa orang yang sedang asyik , si penjual sedang sibuk melayani pembeli. Para pembeli sangat menikmati menu yang disantapnya. Itulah yang disebut gerobak angkring atau lebih dikenal dengan  angkringan. Lalu apa yang sedang mereka lakukan? Makan tanpa etika  asal ‘comot’ saja?
Pandangan-pandangan seperti itu sepertinya tidak asing di mata tidak hanya di sekitar kita bahkan di desa sampai kota pasti ada yang namanya angkringan.  Angkringan, baik di pinngir jalan raya ,  gang-gang sempit bahkan di bukit desa pun sudah merajalela. Memasuki abad ke-21 ini warung yang bernama angkringan sudah bertambah pesat, konsumennya tak hanya warga desa, orang tua, maupun masyarakat umum bahkan sampai pelajar pun menjadi langganan setia angkringan yang mereka member nama tersendiri yaitu ‘angset’ singkatan dari angkringan setan. Apakah penyebab dari menjamurnya angkringan ini.Adakah yang harus segera dilakukan mengenai jumlah angkringan yang bertambah banyak?
Angkringan bisa menjadi kuliner favorit bagi yang berdompet tipis. Dengan uang ‘cepek’ pun bias  membeli berbagai macam makanan.  Warung dengan ‘sego kucing’ sebagai menu andalan ini  sangat popular di kalangan pelajar Yogyakarta. Mereka yang sekolahnya dekat warung angkring tak jarang yang menyempatkan menikmati keramaian warung angkring.
Berikut ini hal-hal yang bisa dilakukan di angkringan:
  1. Bisa ngobrol bahkan  ngobrol dengan orang yang belum dikenal
  2. Tak perlu table manner nyomot panganan pakai tangan pun bukan melanggar etika
  3. Pergaulan yang alami, sembali melihat ’potret sosial’ bertemu dengan berbagai macam golongan  masyarakat
  4. Menikmati makanan rakyat, murah meriah. Seperti nasi, lauk, sambal teri, bandeng goreng, dan kering tempe pedes.
  5. Sekat-sekat sosial seperti pendidikan, kekayaan, jabatan, suku, agama,dll  hilang 
  6. Bisa mendiskusikan isu hangat, mendengar aspirasi suara rakyat
  7. Harga ekonomis, terjangkau, murah meriah.

Menjamurnya usaha angkringan di Yogyakarta berkaitan dengan keadaan perekonimian saat ini. Bermula dari ledakan penduduk yang tidak teratasi menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan. Masyarakat yang rendah pendidikannya akan mendapat pekerjaan yang rendah pula, bahkan yang tidak sempat menganyam pendidikan pun sulit mendapatkan pekerjaan.
            Meningkatnya jumlah kelulusan SMA/SMK setiap tahunnya menjadikan   bertambahnya angkatan kerja. Sedangkan kesempatan kerja tidak menampung mereka semua. Sehingga terjadi pengangguran. Persoalan seperti ini yang menjadikan mereka yang tidak memiliki pekerjaan untuk memiliki usaha kecil-kecilan sendiri seperti angkringan. Lain lagi, dulunya seorang pegawai pabrik milik pemerintah, karena krisis ekonomi mengalami Pemutusan Hubungan Kerja atau disingkat PHK. Kemudian memutuskan untuk mendirikan angkringan untuk  menyambung hidup demi sesuap nasi.
            Di angkringan tidak ada aturan tertentu dalam tata cata makan, bebas mengambil makanan, makanan yang diingkinkan langsung dapat diambil dihadapannya ,melayani sendiri, makan seenaknya tanpa menunggu lama seperti di Pizza Hut, bahkan antrian di KFC sendiri.  Makanannya pun sangat beragam dari makanan tradisional. Identik dengan tahu bacem, tempe bacem, berbagai macam-macam gorengan, dll. Juga makanan tersebut tidak tahan lama alias tanpa bahan pengawet. Tapi, belum tentu sehat terkait dengan tingkat kehigenisannya.
Melihat maraknya fenomena angkringan di setiap pojok kota Yogyakarta ini tampaknya tida berlebihan jika dikatakan angkringan sebagai roda penggerak perekonomian. Hal ini dikarenakan ia bergerak disektor riil. Hasil dari keberadaan angkringan bisa langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Baik dalam hal perputaran uang maupun tenaga kerja masyarakat turut terlibat didalamnya.
Angkringan juga mendorong perekonomian dengan mengurangi angka pengangguran. Untuk menjadi penjual angkringan tidak diperlukan persyaratan tertentu. Angkringan menjadi wadah yang fleksibel untuk menampung pengangguran yang ingin bekerja.
Menanggapi bertambahnya jumlah warung-warung angkringan seperti masa kini, hendaknya diperlukan sikap selektif untuk menentukan mana yang dibutuhkan. Juga harus senantiasa menjaga kebersihan lingkungan dan memilih angkringan yang benar-benar terjamin kebersihan makanan, tempat, dan keamanan dan kenyamanannya.

0 komentar:

Posting Komentar