Opini

|


Yogyakarta  Livable City
Tidak Akan Digandrungi Lagi
Sudah tidak asing lagi penyebutan Yogyakarta sebagai kota  ideal untuk dikunjungi.   Kondisi Yogyakarta yang livable dipengaruhi oleh faktor historis pada zaman dahulu. Sejarah Yogyakarta dijadikan Ibukota Republik Indonesia memiliki peran  strategis karena pembuktiannya dalam mempertahankan status Republik Indonesia pada masa itu. Pengalamannya dalam mengatasi masalah awal kemerdekaan hingga tercapai perdamaian mewakili alasan logis  sebagai daerah yang aman. Kurun tahun 1946-1949 sejak Yogyakarta menjadi Ibukota Republik Indonesia melahirkan dampak yang positif yakni atmosfer kehidupan masyarakat yang sarat akan nilai dan norma yang tinggi serta unggul dalam bidang pendidikan dan sosial budaya.  Keunggulan inilah yang mengusung Yogyakarta sebagai kota nomor satu paling sering dikunjungi menurut IAP Most Livable City Index 2012. Survei ini memunculkan pertanyaan paling tidak bagaimana Yogyakarta untuk tetap mempertahankan posisi tersebut dalam ikhwal mengatasi stabilitas dalam berbagai aspek. 
Kondisi Yogyakarta yang livable city bermakna bahwa kota beserta lingkungannya menciptakan rasa yang aman untuk tempat tinggal dan bekerja dilihat dari berbagai aspek meliputi fasilitas, sarana prasarana, tata ruang, interaksi sosial dan aktivitas ekonomi.  Aspek-aspek untuk memenuhi kriteria livable city sebenarnya sudah dimiliki Yogyakarta. Pada sistem penataan kota, Yogyakarta sudah dirancang dalam bentuk yang sakral  yaitu kerajaan sebagai pusat dan tetap mempertahankan tradisi.  Sikap serta perilaku masyarakat Yogyakarta yang memiliki kearifan yang tinggi menjadikan pendatang  mudah untuk bersosialisasi dan beradaptasi. Segi pendidikan turut mendongkrak Yogyakarta pada dunia pendidikan pada banyaknya universitas terakreditasi unggul.
            Keunggulan Yogyakarta yang siap melayani pengunjung dari berbagai seantero negeri  perlu dikritisi kembali bahwasanya sebuah provinsi yang melayani pengunjung berbagai daerah harus mampu mengatasi masalah-masalah yang strategis lebih dekat  dengan kehidupan masyarakat. Kenyataannya, Yogyakarta belum siap untuk dijadikan daerah yang benar-benar diakui keunggulannya. Problematika segi fisik dan lingkungan akan menjadi faktor utama penyebab kegagalan syarat  livable city.  Kemacetan di jalan-jalan sudah tak tertahankan lagi. Hal ini dilansir akibat tumbuh pesatnya kepemilikan kendaraan pribadi serta tak teraturnya angkutan umum. Angkutan umum ini sangat memprihatinkan karena ada yang sudah tidak layak pakai tetapi tetap dioperasikan. Wacana pembangunan fly over justru akan memacu pertumbuhan jumlah kendaraan pribadi. Hasilnya, kemacetan bakal lebih membengkak dari sebelumnya. Tujuan utama pembangunan Trans Jogja sepertinya  tidak berjalan mulus karena sampai sekarang jumlah armadanya-pun belum bertambah.  Berangkat dari hal itu, kondisi lingkungan Yogyakarta sebenarnya masih jauh dari kata ‘baik’. Apalagi belum lama ini masyarakat  dihadapkan dengan kasus yang mengguncang keamanan Yogyakarta. Penembakan terhadap tahanan disebuah lapas oleh para figur yang seharusnya melindungi keamanan masyarakat. Dari sisi tersebut, apakah Yogyakarta sudah pantas disebut livable city?
            Menilai dua masalah diatas, dalam jangka panjang simpati masyarakat Indonesia terhadap Yogyakarta juga akan menurun. Bisa jadi kota ini akan kehilangan kepercayaannya.  Akibatnya, pamor Yogayakarta bisa turun, sepi pengunjung dan bermuara pada degradasi kualitas daerah.  Maka dari itu sebelum muncul yang lebih parah perlunya tindakan preventif.  Penanaman pola pikir disertai dengan kesadaran yang realita harus mengakar kuat pada diri masyarakat Yogyakarta. Kesadaran handarbeni (memelihara) lingkungan dapat dilakukan mulai dari mengurangi kendaraan pribadi saat bepergian, pengaturan angkutan umum, serta mendukung kebijakan pemerintah dalam mengatur lingkungan. Selain itu, menciptakan kerukunan antarmasyarakat untuk menghindari hal-hal yang memunculkan perpecahan. Oleh karena itu, kita perlu lebih dalam menggali lebih dalam nilai dan norma masyarakat Yogyakarta baik dahulu maupun sekarang agar kualitas Yogyakarta tetap terjamin. – Dian A



0 komentar:

Posting Komentar